Aku bersahabat dengan
sebuah sungai. Sejak muncul dari mata air di gunung itu, ia segera mengenalku
dan tampaknya telah jatuh cinta padaku. Ia tidak bertepuk sebelah tangan.
Tentu, aku tidak tahu mengapa. Pada hakikatnya, ia baik, meskipun perangainya
suka berubah-ubah menurut penilaian sementara orang. Ia menjalani hidup yang
sukar. Begitu muncul dari mata air, ia harus mencari jalannya sendiri,
meliuk-liuk, terus bergerak agar tetap dianggap sebagai sungai.
Kami selalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang ditempuhnya. Katakanlah,
kesukaran hidupnya. Lereng gunung, hutan, daerah yang terjal berbatu-batu
lembah yang tak terbayangkan luasnya-malah di beberapa tempat ia harus terjun
beberapa ratus meter tingginya. Dan orang merayakannya.
Di musim hujan, air yang tercurah dari langit sering tidak bisa ditampungnya.
Bahkan, ia yang berasal dari mata air di gunung itu seolah-olah lenyap begitu
saja dalam banjir yang konon bisa menghanyutkan apa saja. Tetapi ia tidak
pernah mengeluh dan oleh karenanya aku, bahkan, semakin mencintainya. Di dalam
perjalanan hidupnya yang sukar itu, aku senantiasa menemaninya. Aku diam-diam
mencintai kelokan-kelokannya yang jika dipandang dari atas, tampak seperti
lukisan abstrak. Aku diam-diam mengagumi suara riciknya ketika ia bernyanyi
menghindari bebatuan, disaksikan oleh pohonan rindang yang suka tumbuh di
sepanjang tepinya. Apalagi, jika kebetulan ada beberapa ekor burung yang
berkicau di ranting-ranting pohonan itu. Aku, ter-utama sekali, suka diam-diam
terpesona oleh gemuruh
suaranya. Ketika ia
harus terjun dari ketinggian ratusan meter itu, mengingatkanku pada beberapa
penggal sampak dalam gending Jawa dan simfoni Bethoven. Di beberapa tempat ,ia,
bahkan, menggodaku untuk terjun ke airnya yang jernih dan tenang; ini adalah
puncak cinta kita, katanya.
Singkat kata, kami senantiasa bersama-sama. Sampai pada suatu waktu ketika kami
harus menyeberangi sebuah padang pasir. Ia tampak bingung gamang. Seperti putus
asa. Bujukanku tak mempan; aku akan lenyap dan meninggalkanmu, katanya. Tidak,
kau akan menyusup di bawah samudra pasir itu dan tidak lenyap, kataku. Aku
sendiri, sebenarnya, agak ragu-ragu dan cemas. Namun, aku yakin bahwa cinta
kami tidak mungkin dipisahkan, bahkan, oleh padang pasir. Kami pun ternyata
memang harus berpisah meskipun tetap saling mencintai. Katanya, ia akan
menyusup di bawah samudra pasir itu sementara aku diharapkannya untuk terus
saja menempuh perjalananku. Dalam perjalananku di bawah matahari yang terik,
yang selama ini telah menjadi saksi cinta kami, kami bisa saja bertemu dan
melepas rindu. Untuk itu, aku harus menggali dan terus menggali, tanpa putus
asa, agar bisa mencapainya jauh di bawah sana. Hanya dengan begitu, ia bisa
muncrat ke atas dan menjelma genangan air kecil; itulah wujud cinta kami.
----------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------
Sapardi Djoko Damono
Komentar
Posting Komentar