BACA JUGA

Senja Hitam Putih

Seorang prija, tiba-tiba mengalamin satoe peristiwa aneh.
Sangkaannja raboen sendja, akan tetapi dia djadi boeta 
warna
pic from Pinterest




   Senja itu, dunia menjadi hitam putih. Suatu layar transparan yang turun bergulung bagaikan layar penutupan sebuah sandiwara, membuat segalanya hitam putih, mulai dari langit, kaki langit, lautan, sampai ke pantai di mana aku duduk, dan akhirnya menelan diriku dan segalanya di belakangku. Aku pun menjadi hitam putih. Dunia menjadi hitam putih.
    Matahari senja yang kutunggu-tunggu telah berada di garis cakrawala, tapi ia bukan lagi lempengan raksasa merah membara yang semburat cahayanya membakar langit menjadi keemas-emasan. Dunia telah menjadi hitam putih. Tiada lagi apa pun yang berwarna di muka bumi. Tiada lagi sesuatu pun yang bahkan hanya seperti berwarna di dalam maupun di luar semesta. Busyet. Dunia betul-betul hitam putih. Segenap kata yang menjelaskan warna menguap dari dalam kamus, menjadi asap membubung seperti kemenyan, hanya untuk segera musnah disambar cahaya matahari.
   Kulihat matahari yang berada di atas cakrawala. Warnanya aneh, tepatnya tidak berwarna - mungkin kelabu, tapi sebetulnya tidak bisa disebutkan. Hitam dan putih di dunia ini ibarat soal terang dan gelap, bukan warna-warna. Matahari yang mungkin kelabu itu tampak begitu muram bagaikan akhir segala keceriaan yang tidak bisa kembali. Kulihat sekeliling, dunia menjadi asing. Tapi mengapa semua orang tenang-tenang saja?
    Heran. Semua orang tenang-tenang saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ataukah memang tidak terjadi apa-apa? Matahari kelabu. Lautan kelabu. Langit kelabu. Kafe-kafe sepanjang pantai dengan lampu-lampu kerlap-kerlip hanya menjadi garis dan noktah-noktah putih di atas kanvas kelabu. Orang-orang berjalan di kakilima seperti tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Apakah mereka lupa dunia ini pernah berwarna? Kucoba mencari nama sebuah bar, Blue Moon, yang terletak di dekat tempatku duduk. Dan aku terkesiap, tulisannya sudah menjadi Black Moon. Astaga. Apakah aku bermimpi?
     Aku memejamkan mataku. Siapa tahu mataku saja yang tiba-tiba menjadi rusak. Atau pikiranku saja yang menjadi berlebihan. Dunia ini berwarna, kiamat macam apakah yang harus membuat dunia ini menjadi hitam putih? Aku memejamkan mata lama sekali. Ku dengar debur ombak, desah angin, hempasan ombak dan lidah-lidah ombak yang berkejaran di atas pasir. Pasir yang basah selalu menjadi kuning keemasan bila senja begini. Lempengan raksasa bernama matahari senja yang merah membara seperti besi terbakar itu akan menyemburatkan langit menjadi sapuan api yang menyepuh mega-mega menjadi kereta kencana keemasan yang berarak-arak, dan semua itu akan dipantulkan kembali oleh pasir basah yang menghampar seperti cermin keemasan, kekuningan, kejinggaan, menjadikan dunia senja yang sempurna bagi siapa pun yang memburu senja di pantai seperti memburu cinta yang selalu berubah setiap saat itu, meraih pesan-pesan dari kesementaraan terindah di seantero semesta...
    Aku masih memejamkan mata. Kudengar angin yang mengembara, basah, lengket, dan asin. Kudengar angin mengembara ke seberang selat, melenggang di antara celah gunung, lembah, dan jurang, mengibarkan bendera dan umbul-umbul yang didirikan dengan darah, mengibarkan rambut dara-dara yang jatuh cinta, dan mengoyangkan genta-genta di kuil yang kemudian mengirimkan bunyi-bunyi ting kepada angin yang membawanya ke telinga para pendoa di seluruh penjuru dunia. Mengapa senja tidak harus menjadi indah? Bila senja tiba, dunia menjadi jingga dengan langit yang kemerahan menyala-nyala, seperti jeritan sebelum kematian, menyisakan duka dalam kemerahan yang semakin padam, padam, dan padam sama sekali ditelan malam. Senja adalah janji sebuah perpisahan yang menyedihkan tapi layak dinanti karena pesona kesempurnaannya yang rapuh, seperti kehidupan yang selalu terancam setiap saat untuk berakhir dengan patuh. Menatap senja adalah suatu cara berdoa yang langsung terjelma, perubahannya dari saat ke saat meleburkan diri seseorang ke dalam peredaran semesta. Aku memejamkan mata dan percaya semua hal yang kurasakan sahih adanya.
    Aku membuka mata. Dunia masih hitam putih. Apakah dunia selamanya akan tetap hitam putih? Aku memejamkan mata lagi, dunia masih berwarna dalam kepalaku. Betapakah mungkin aku akan mengalami dunia yang berwarna dalam diriku saja? Aku memang melihat dunia yang berwarna bila memejamkan mata. Semuanya seperti teringat kembali. Lampu-lampu yang biru, padang rumput hijau, bukit-bukit berbunga kekuningan, dan lereng-lereng dengan tanah yang merah. Aku teringat wajah-wajah santai yang duduk di pantai dan berjalan di kaki lima. Mungkinkah dunia yang berwarna itu tidak pernah ada dan aku menjadi manusia yang keliru? Kubuka mataku. Dunia tetap hitam putih. Aku bangkit dari pasir yang basah dan memantulkan langit senja hitam putih keabu-abuan. Aku harus melakukan penyelidikan.
    Kumasuki kafe Black Moon, dan memesan red wine.
    "Anggur merah? Apa itu?" ujar pelayan berompi hitam.
    "Apalagi kalau bukan anggur merah? Kamu lulusan akademi restoran mana?"
    "Dari mana Tuan tahu anggur merah, di dunia ini hanya ada dua jenis minuman anggur, white wine dan black wine, Tuan mau yang mana?"
  
    Busyet. Kupesan anggur hitam. Kulihat minuman anggur itu, kental seperti tinta hitam. Haruskah kuminum tinta hitam ini? Kutenggak. Rasanya memang seperti anggur, tapi warnanya yang aneh membuat perasaanku agak kacau. Di kafe itu segalanya hitam putih. Orang-orang mengobrol dan tertawa. Mereka itu hitam putih. Sekali lagi kulihat diriku melalui cermin di dinding bar. Memang hitam putih. Aku merasa ingin ke toilet. Nah, apakah kencingku masih kuning? Eh, ternyata kencingku berwarna putih. Masih untung tidak hitam. Wah. Dunia yang berubah atau akukah yang menjadi gila?
    Aku keluar dan berjalan lagi. Matahari senja masih di atas cakrawala. Barangkali dia menunggu sesuatu untuk menenggelamkan diri, menyemburatkan cahaya antara hitam dan antara putih dan mungkin kelabu sepanjang langit, membuat pemandangan menjadi mirip foto hitam putih yang dipuja-puja orang di dunia berwarna.
    "Beri aku kepastian," kataku kepada diriku sendiri.
    Maka kumasuki sebuah persewaan piringan laser. Di sana kutanya Aladin, pemilik persewaan itu.
  
    "Aladin, apakah dikau tahu judul flm karya Zhang Yimou berjudul Raise The Red Lantern yang dibintangi Gong Li?"
     "Maksudnya Raise The White Lantern?"
     "Bukan, Raise The Red Lantern."
   "Hmm. Saya rasa Tuan agak mabuk, flm Zhang Yimou itu judulnya Raise The White Lantern, lagipula apa sih artinya red itu?"
     "Red itu merah, Din."
     "Merah itu apa, Tuan?"
     Hmmm. Aku yang mabuk atau bagaimana?
   Mabuk? Aku tidak akan mabuk karena segelas anggur hitam. Kalau bir hitam, yang sejak dulu memang warnanya begitu, masih mungkinlah. Begitu juga dengan bir plethok. Tapi ini hanya segelas anggur. Meski sejujurnya aku merasa sudah termabukkan semenjak dunia menjadi hitam putih tiba-tiba, tapi yang bagi semua orang seolah-olah memang hitam putih semenjak lahirnya ruang dan waktu. Namun aku masih melakukan penyelidikan.
    "Baik, kalau begitu aku pinjam Blue Velvet?"
    "Blue Velvet?"
    "Iya, masa' kamu tidak tahu, sutradaranya David Lynch."
    "Oh, Black Velvet maksudnya Tuan?"
    "Blue Velvet"
    "Apa sih blue?"
    "Wah, guru SD-mu siapa? Blue yang biru dong!"
    "Apa sih biru itu, Tuan?"
    "Din, kamu mabuk?"
    "Saya kira Tuan yang mabuk, dari dulu juga Tuan tahu judul karya David Lynch itu Black Velvet."

   Rupanya benar juga. Seluruh kata yang menjelaskan warna telah menguap dari dalam kamus, melayang seperti asap kemeyan, disambar cahaya matahari yang putih menyilaukan, lantas habis sama sekali diterbangkan angin. Dunia telah berubah bagiku, tapi dunia tampaknya memang seperti ini semenjak zaman dahulu kala. Siapakah yang benar? Siapakah yang salah? Apakah aku begitu salahnya jika dalam kenanganku dunia adalah berwarna, karena bagiku dunia ini memang pernah berwarna? Tetapi bagaimana aku bisa benar jika tak seorang pun di dunia ini pernah mengenal warna-warna selain hitam putih dalam kamus bahasanya? Nah, apakah aku sudah gila?
    Aku kembali ke pantai, matahari senja yang tidak bisa kusebutkan warnanya itu rupa-rupanya menunggu aku. Begitu aku tiba di pantai, ia mulai melesak ke balik cakrawala. Langit semburat keputih-putihan seperti pancaran sinar petromaks. Senja menjadi ajaib. Inilah senja hitam putih yang pertama dalam hidupku. Kulihat orang-orang berpasangan memandang matahari senja yang tenggelam sambil berpeluk-pelukan seolah-olah inilah senja terindah di dunia yang tidak akan pernah terulang kembali. Apakah mereka belum pernah melihat senja yang cahayanya merah membara membakar langit sehingga dunia menjadi keemas-emasan? Kulihat senja yang hitam putih di pantai ini. Butir-butir pasir bagaikan tebaran kristal yang cemerlang, setiap kali ombak menyiram dan kembali ke laut kristal-kristal itu semakin berkeredap. Cahaya matahari yang putih berlenggang dan mengibas, angin sayu dan mendayu, burung-burung hitam dan burung-burung putih menjerit-jerit memenuhi pantai. Angin masih asin, dan di cakrawala itu perahu-perahu nelayan menjadi bayang-bayang hitam. Banyak yang masih mirip dengan senja yang dahulu, tapi tentu juga banyak sekali yang berubah.
    Ketika Maneka tiba kulihat ia telah menjadi abu-abu. Kulitnya yang sawo matang menjadi abu-abu. Sepatu karetnya yang biru muda menjadi abu-abu, baju rok katun terusannya juga jadi abu-abu, dan tato bunga mawar di bahu kirinya yang terbuka itu, yang bidangnya merah dan garisnya hijau, hanya menjadi abu-abu dan hitam. Bibirnya yang meski tak pernah berlipstik selalu merah, basah, dan setengah terbuka itu menjadi bibir yang kehitam-hitaman. Alisnya yang tebal masih kehitaman dan matanya masih cemerlang hitam, begitu pula rambutnya yang panjang bergelombanng. Ia tidak pernah membawa tas dan tetek-bengek perempuan seperti saputangan dan semacamnya. Ia selalu begitu saja, tidak membawa apa-apa, melenggang santai seperti semua wanita impian yang tidak usah bekerja. "Aku tidak pernah membawa apa-apa, tapi selalu membawa cinta," katanya selalu. Hmmm. Wanita impian. Perempuan impian. Adakah dia? Aku tertawa.
    "Kenapa sih tertawa?"
    Aku masih terus tertawa.
    "Kenapa sih? Ada yang aneh?"
    "Lihat, kamu jadi abu-abu."
    "Apa yang aneh dengan abu-abu? Dunia ini hitam putih, dan di antaranya hanya terdapat abu-abu. Dari dulu aku abu-abu, dan selamanya selalu abu-abu. Kenapa kamu tertawa?"

    Aku terdiam, dan menjadi sedih. Aku betul-betul sudah menjadi orang lain di dunia yang fana ini. Di dunia yang berpenduduk tiga milyar ini hanya aku yang mempunyai persoalan tentang dunia yang hitam putih. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang merasa bahwa dunia yang hanya hitam dan putih adalah mustahil. Bagi semua orang dunia ini adalah hitam dan butih dan bahkan dalam pertanyaan pun kemungkinan sebuah dunia berwarna tidak pernah mereka kenal. Aku menjadi manusia yang berbeda, dan perasaan berbeda itu begitu terasa ketika orang yang terdekat pun tidak mengenali isi kepala kita.
    Matahari telah melesak separuh. Tiada lagi warna merah membara seperti besi yang terbakar. Semua itu hanya ada di dalam kenanganku. Kenangan yang tidak mungkin kibagikan karena tidak akan pernah dimengerti. Warna-warna dalam duniaku tidak mempunyai kaitan apa pun dengan dunia hitam putih di luar diriku yang juga menjadi duniaku sekarang ini. Dunia tidak akan pernah sama lagi mulai sekarang. Apakah dunia tidak akan pernah sama lagi mulai sekarang? Apakah tidak mungkin pada suatu ketika pada suatu senja entah di tepi pantai yang mana senja tiba-tiba berubah berwarna kembali? Apakah tidak mungkin dunia ini menjadi berwarna kembali seperti yang telah kualami selama ini dengan lampu-lampu yang biru, matahari yang jingga, dan bulan merah semangka? Apakah aku sebaiknya berharap tanpa kepastian ataukah aku sebaiknya menerima saja bahwa dunia ini memang hitam putih dan bahwa kemungkinan berwarna pun sebaiknya tidak usah dipikirkan lagi?
    Maneka duduk di pasir dan bersenandung.


the world is black
the world is white 


    Kulihat cahaya senja hitam putih yang menimpa bahunya. Dunia hitam putih bukan dunia yang tidak menarik, tapi betapapun dunia hitam putih juga bukan dunia berwarna. Apakah yang akan terjadi selanjutnya jika dunia terus hitam putih seperti ini? Dunia selalu hitam putih bagi semua orang dan kehidupan berjalan terus. Apakah aku bisa hidup dalam dunia seperti ini, seperti juga kehidupan orang-orang lain? Apakah aku bisa hidup seperti mereka sementara aku pernah mengalami dunia yang berwarna? "Dari dulu duniamu pun hitam putih, sama dengan kami semua," kata Maneka. Jadi siapakah aku yang meraka kenal sekarang ini? Aku ini aku yang merasa pernah mengenal dunia berwarna atau aku yang menurut mereka sejak dulu pun berada dalam dunia hitam putih?
    Aku teringat tirai yang menurun itu. Tirai transparan seperti filter yang mengubah segala yang berwarna menjadi hitam putih. Tirai yang turun seperti layar penutupan sebuah sandiwara, turun mengubah langit sampai ke kaki langit sampai ke pantai dan menggulung diriku maupun segala hal di belakang diriku. Maka sejak itu pun dunia menjadi hitam putih bagiku. Sebetulnya belum lama peristiwa itu terjadi. Bukankah matahari belum lenyap dan aku datang untuk melihat senja yang membara yang cahayanya semburat membakar langit sehingga seluruh dunia menjadi keemas-emasan, kekuning-kuningan, kejingga-jinggaan, kemerah-merahan, sebelum akhirnya padam sama sekali meninggalkan garis putih lidah-lidah ombak yang memecah pantai. Senja bersama Maneka adalah senja terindah yang paling mungkin diimpikan karena Maneka memang seorang perempuan impian yang diciptakan untuk mempersembahkan cinta yang seperti juga senja akan selalu berubah dengan pasti dari saat ke saat sebelum akhirnya hilang lenyap dan berakhir sama sekali. Hmmm. Tapi kini hanya senja hitam putih yang berada di depan mata, dan segala-galanya jadi berbeda. Matahari itu bahkan menungguku sebelum melanjutkan perjalanannya.
    "Sebaiknya matahari sampai di situ," kataku kepada Maneka ketika aku duduk di sebelahnya.
    Matahari kelabu yang tinggal separuh itu pun berhenti di cakrawala.

    "Hah?" kata Maneka. "kamu menghentikan matahari itu?"
    "Hmmm," aku hanya bergumam. Sebetulnya aku pun tudak tahu apa yang terjadi. Barangkali dunia ini memang sudah jungkir balik.
   "Kita bisa duduk selama-lamanya di pantai ini," kata Maneka, "kita duduk saja sepanjang tahun memandang senja yang menjadi abadi, sehingga cinta kita pun abadi seperti mimpi."
    Maneka, Maneka, wanita impian, perempuan khayalan, dara yang diciptakan, berlari ke pantai dalam sebuah dunia hitam putih yang ternyata juga mempesona. Kalau kita bisa mencintai yang kita miliki saja, dan tidak selalu mengharapkan yang tidak ada, barangkali hidup juga akan menjadi lebih mudah. Kulihat Maneka berjalan di antara lidah-lidah ombak. Bahunya yang terbuka dalam rok katun bertali itu masih sama indah seperti yang bisa kukenang dari dunia yang berwarna. Senja hitam putih mempersembahkan dunia yang kelabu. Maneka menjadi siluet yang melangkah di antara keredap kristal sepanjang pantai yang terhampar kekelabu-kelabuan, keputih-putihan, kehitam-hitaman, berganti-ganti terserah yang menafsirkannya. Angin sepoi dan buih berbisik seperti sebuah cerita dari balik mimpi dara-dara yang jatuh cinta. Kulihat langit yang semburat kelabu. Namanya memang kelabu, namun kelabu ternyata bukan hanya kelabu. Kelabu yang terdiri dari susunan bertrilyun-trilyun titik hitam itu ada yang keputih-putihan ada yang kehitam-hitaman ada yang hitam kekelabu-kelabuan ada yang putih kekelabu-kelabuan ada yang kelabu-kelabu sekelabu-kelabunya kelabu. Ada berapa banyak arti kata dalam susunan kalimat yang berbeda? Sebanyak itulah kelabu dalam semburan langit yang menaungi bumi. Aku terkapar menatap langit yang kelabu. Aku tidak kekurangan apa-apa. Aku tidak kehilangan apa-apa.
   "Kalau matahari berhenti di sini, bagaimana dengan senja di tempat-tempat lain?" Maneka bertanya. Ia tiba-tiba sudah berdiri di atasku. Lantas rebah menindihku. Hmmm. Dunia boleh berubah rupanya, tapi senja akan tetap seperti itu, perubahan yang pasti dari saat ke saat tanpa pandang bulu. Kurelakan senja terindah ini berakhir. Kurelakan cinta yang tidak abadi seperti mimpi. Biarlah segalanya berlalu dan selalu berlalu seperti peristiwa apa pun yang akan selalu berlalu. Aku tahu senja akan mengitari seluruh permukaan bumi, menciptakan langit kelabu yang pilu dan membisu. Senja yang hitam putih akan menjadi sama saja seperti semua senja yang lain di seribu tempat yang berbeda.
    "Katakanlah kepadaku bahwa senja ini akan selalu abadi untuk kita," kata Maneka, seperti yang selalu diucapkannya setiap senja dalam kenanganku yang berwarna. Senja bergerak kembali. Kali ini aku tidak menjawab. Hanya memindahkan tubuhnya dan bangkit melihat cakrawala. Matahari kelabu itu sudah lenyap di balik cakrawala. Tinggal kegelapan yang sungguh-sungguh hitam dalam senja hitam putih yang kini sudah betul-betul berakhir.
     Aku bangkit dan melangkah pergi. Aku mau pulang. Maneka pun bangkit, melangkah ke arah yang berlawanan, bernyanyi-nyanyi sendiri.
the world is black
the world is white

     Aku menoleh. Maneka sudah hilang ditelah kelam. Seperti akhir setiap perjumpaan kami, aku tak pernah pasti apakah kami akan berjumpa lagi kelak suatu saat entah kapan entah di mana. Namun setidaknya kini aku mempunyai pilihan, mengenangnya dalam senja yang berwarna atau yang hitam putih.



Seno Gumira Ajidarma
Sanur, 20 Oktober 2000

Komentar