BACA JUGA

Rinjani Dan Rindu Yang Menjadi-jadi

pic from dibaratdaya.com
Baratdaya. Sebuah rindu kadang datang dengan cara yang tak diduga-duga. Ia bisa datang melalui perantara apa saja. Bisa jadi lewat hujan yang tiba-tiba mengguyur pagimu dan membawa rindu itu, atau dengan angin malam yang lembut membuai dan datang menyapamu, atau bisa juga melalui lamunan dan ingatan akan sebuah rindu, rindu bisa datang dari mana saja.
Kali ini, saya rindu akan sesuatu yang berbeda dari rindu pada umumnya. Jika biasanya orang-orang merindukan seorang yang lain, atau mereka merindukan sebuah tempat dimana bahagia mengalir didalamnya, saya justru rindu pada sebuah proses perjalanan panjang. Ya, benar! Saya merindukan perjalanan ke Gunung Rinjani, sebuah proses menuju punjak Dewi Anjani. Saya benar-benar merindukan semua elemen yan terlibat dalam perjalanan itu.
Perjalanan yang sebenarnya belum lama ini saya tempuh, berangkat dari jakarta bersama seorang kawan (@catatanbackpacker) yang rencananya akan ikut bersama mendaki Gunung Rinjani, tetapi akhirnya batal ikut mendaki karena suatu alasan.
Tapi untunglah, perjalanan yang sudah jauh-jauh hari saya impikan terlaksana juga karena kesediaan seorang kawan lain yang sudah menunggu di Lombok, namanya Uda Guri, atau biasa dikenal di dunia instagram dengan @langkahjauh.
Tepat jam 10 pagi, saya dan bang Yudha mendarat di Bandara Internasional Lombok. Ketika sampai di Lombok, kebingunganpun muncul, Bandara Internasional Lombok yang lokasinya cukup jauh dari kota Mataram membuat kami harus memutar otak untuk mencari transportasi menuju Mataram. Pilihannya adalah taksi, travel, atau menghubungi teman. Pilihan pertama jelas terlalu berat buat saya yang notabennya adalah seorang Backpacker(e), naik taksi ke Mataram sama saja dengan buang2 uang. Pilihan ke dua pun demikian, ongkos travel yang sama dengan uang makan kami selama 2 hari, sekitar Rp 50.000.
Jadilah Pilihan ke tiga yang kami pilih, menghubungi teman yang menetap di Lombok. Langsung saja saya menghubungi Jagung, seorang teman yang saya kenal dari instagram (@yudapurnawirawan). Sekitar 30 menit setelah saya hubungi, Jagung sudah sampai di depan bandara. Tapi ada kendala lain, kali ini perjalanan saya tidak sendirian, tapi bersama seorang teman. Untunglah, berkat nama baik seorang @catatanbackpacker yang punya banyak teman dimana saja, akhirnya ada seorang teman lain yang mau menjemput. Jadilah kami ke Mataram dengan sepeda motor bantuan teman.
Itulah salah satu keuntungan punya banyak teman dimana saja. Jika kita ingin berjalan ke suatu daerah, usahakan punya teman yang bisa menemani di daerah itu, paling tidak kita bisa aman kemana saja karena orang lokal pasti tau akan rute yang akan di tempuh.
Kalau tidak punya teman dan tidak mau mencari teman, bisa-bisa kita terkena musibah di suatu daerah yang asing dan tidak ada yang bisa membantu kita. Banyak teman tidak ada ruginya kok, maka bertemanlah dengan siapa saja.

Sampai di Mataram, uda Guri sudah menunggu di Rumah Singgah Lombok. Sekaligus ia mencarikan transportasi menuju ke Sembalun, tempat gerbang pendakian gunung Rinjani dimulai. Ada dua pilihan menuju Sembalun, pilihan pertama adalah dengan transportasi umum yang orang-orang lombok sebut dengan Engkel. Jika memilih transportasi ini, dibutuhkan dua kali naik Engkel. Pertama dari terminal Mataram menuju Aikmel, ongkosnya sekitar 30-50rb, tergantung negosiasi. Setelah sampai di aikmel, berpindah ke engkel lain jurusan Sembalun dengan ongkos 40-50rb. Jadi jika menumpangi Engkel, paling tidak bisa menghabiskan dana Rp. 70.000.
Pilihan kedua adalah dengan menumpangi mobil sayur yang biasa bolak-balik Sembalun – Mataram. Ongkosnya hanya 50rb. Tapi lebih cepat karena tidak ‘ngetem’. Jadilah kami memilih menumpangi mobil sayur yang sebelumnya sudah dihubungi uda Guri. Resiko menumpangi mobil sayur, ya duduk di belakang dan terkena angin secara langsung. Tapi tak masalah, justru itulah estetika dari sebuah perjalanan. Menghabiskan waktu bersama teman perjalanan dengan cara yang tak biasa.

Perjalanan baratdaya mataram sembalun Rinjani
Menumpangi mobil pick up yang biasa membawa sayur dari sembalun ke Mataram
Perjalanan dari Mataram ke Sembalun ditempuh kurang lebih selama 4 jam. Selama di atas mobil, kami saling bercanda dan bercerita perihal pengalaman traveling masing2. Bang Yudha dengan cerita hitchhikingnya yang melegenda, juga uda guri dengan cerita solo Backpackernya.
Di tengah perjalanan, ketika sampai di Tete batu, bang Yudha minta izin turun dari mobil pick up tumpangan kami karena tak ikut naik Rinjani, dia memutuskan untuk berkunjung ke sebuah desa di Tete batu. Sedangkan saya dan uda Guri tetap melanjutkan perjalanan yang sudah kami rencanakan.

Desa Sembalun
Desa Sembalun
Sekitar jam 4 sore, saya dan uda guri sampai di Sembalun. Untuk saya yang baru pertama kali melihat Sembalun dengan mata kepala sendiri. Hal yang pertama saya rasakan sungguh tak bisa diungkapkan! Seperti berada di negeri dongeng! Ah! Indah sekali desa ini. Kalau kalian tidak percaya, cobalah datang ke Sembalun, terutama setelah tanjakan terakhir menuju desa Sembalun, kalian akan melihat betapa indahnya negeri Sembalun. Bukit-bukit yang menjulang tinggi berselimut kabut yang setiap saat berlalu-lalang disapu angin ketinggian membuat tempat ini jadi makin luar biasa. Untuk beberapa saat hanya tertegun dan terkagum akan keindahan semesta ini.
Kabut menyambut di Sembalun
Kabut menyambut di Sembalun
Tak mau membuang-buang waktu, saya dan uda guri langsung menuju Pos Pendaftaran Pendakian Gunung Rinjani dan membayar biaya simaksi pendakian dengan total Rp. 35.000,- per orang untuk 3 malam. Tidak terlalu mahal menurut saya dan itu sudah termasuk asuransi. Selesai dengan urusan administrasi dan mengecek ulang perlengkapan serta logistik untuk pendakian, kami mulai melanjutkan perjalanan menuju buangnangu, jalur pintas di sembalun. Jika dibandingkan dengan jalur lama dari pos sembalun, lewat jalur buangnangu bisa menghemat sekitar satu sampai dua jam perjalanan. Rute jalur ini berada sekitar 2 km dari pos pendaftaran sembalun, pendaki bisa menumpangi mobil sayur ataupun menyewa ojek untuk pergi ke buangnamu.
Persawahan dan perkebunan petani Desa Sembalun
Persawahan dan perkebunan petani Desa Sembalun
Sekitar pukul 4 lebih 10 menit, saya dan uda Guri mulai melangkah memasuki jalur pendakian gunung Rinjani. Perjalanan menuju pos 1 biasanya ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 sampai 3 jam dengan jalur agak landai dan masih banyak ‘bonus’nya. Karena kami hanya berdua dalam pendakian ini, jadilah saya dan uda Guri bersepakat untuk melakukan pendakian dengan santai dan tidak terlalu menargetkan waktu. Disamping beban carrier yang lumayan berat karena tidak menggunakan jasa porter, saya juga sudah cukup lama tidak mendaki gunung, kurang lebih sudah vakum selama 6 bulan, maklum karena urusan perkuliahan.
Belum tiba di pos 1, matahari sudah dahulu mengalah kepada malam. Alhasil langit dengan warna-warni indah menyambut kami keluar dari hutan menuju pos 1. Adzan maghrib masih jelas terdengar berkumandang di negeri seribu masjid ini. Sejenak kami berhenti dan menunaikan ibadah shalat maghrib. Banyak orang yang beralasan mendaki gunung karena ingin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, tapi malah banyak yang lupa akan kewajiban sebenarnya. Semoga saya dan teman-teman tidak lupa akan kewajiban kita dimanapun dan kapanpun, Amiin.

Pendakian Rinjani Baratdaya
Sebelum pos 1 Gunung Rinjani Jalur Sembalun
Seiring malam yang mulai membawa gelap, dingin angin yang bertiup dari puncak Rinjani mulai membuat saya menggigil karena terlalu lama berdiam dan berhenti. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju pos 1 dan pos 2. Alat penerangan seperti senter dan head lamp dipersiapkan dan kami mulai menapaki langkah-demi langkah di jalur Sembalun.
Lautan bintang di Jalur pendakian Rinjani
Lautan bintang di Jalur pendakian Rinjani
Tepat pukul 9 malam, saya dan uda guri sampai di Pos 2. Fisik saya lumayan terkuras karena perjalanan non-stop dari jakarta dan langsung menuju sembalun lalu memulai mendaki Rinjani. Segera saya bergegas mendirikan tenda sebagai tempat perlindungan kami malam ini dari dinginnya Rinjani yang menusuk. Bintang-bintang terlihat sangat jelas disini, tak ada polusi udara sama sekali, sungguh berbeda dari tempat tidur saya kemarin malam di ibu kota. Jangankan melihat bintang, menyaksikan langit tanpa polusi saja teramat susah. Sementara saya mendirikan tenda, uda guri sudah siap dengan masakan makan malam kali ini, seperti biasa, mie instan dengan tambahan sayur yang banyak. Cukup untuk mengisi perut dan tenaga untuk pendakian yang masih cukup panjang ini. Tak mau buang-buang waktu, istirahat yang cukup sangat penting untuk persiapan perjalanan esok hari, saya langsung mengistirahatkan tubuh yang cukup lelah ini.
Pos 2 Gunung Rinjani via sembalun
Suasana pagi di Pos 2 Gunung Rinjani via sembalun
Matahari pagi di pos 2 membangunkan tidur saya yang cukup nyenyak. Saya mencoba keluar tenda dan melihat sekitar, dingin masih menusuk meski matahari berusaha menghangatkan. Beberapa orang porter sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk tamu-tamu mereka yang kebanyakan adalah bule, langit sungguh cerah pagi ini, secerah semangat saya untuk melanjutkan pendakian menuju puncak dewi anjani yang masih cukup jauh.
Setelah selesai sarapan dengan makanan ala kadarnya tapi entah kenapa teramat nikmat jika disantap ketika di gunung, ditambah beberapa teguk susu jahe, kami berkemas den bersiap melanjutkan perjalanan menuju pos 3.

Siap Berangkat ke Puncak Rinjani
Siap Berangkat ke Puncak Rinjani
Perjalanan menuju pos 3 sungguh luar biasa, pemandangan yang membuat saya selalu terkagum setiap melayangkan pandangan ke berbagai sudutnya. Hamparan sabana yang luasnya entah berapa, lalu jauh disana membayang puncak Dewi Anjani yang dengan latar belakang langit biru yang sangat cerah dengan sedikit awan. Sungguh indah negeri ini.
Pemandangan dari pos 2 sembalun
Pemandangan dari pos 2 sembalun
Di sepanjang jalan, kami membicarakan apa saja tentang cerita perjalanan masing-masing. Beberapa kali saling bergantian memotret. Kadang saya berjalan lebih dulu beberapa meter agar uda guri bisa mengambil gambar dengan saya sebagai objek.
Pemandangan dari pos 2 sembalun
Pemandangan dari pos 2 sembalun
Para porter yang tadinya berada jauh di belakang kamipun menyusul. Bayangkan, tanpa memakai sepatu, mereka membawa beban yang jauh lebih berat dari beban pendaki biasa. Akan tetapi, tak ada wajah mengeluh di muka mereka, setiap bertemu dengan saya mereka selalu tersenyum dan menyajikan raut muka semangat. Orang-orang yang luar biasa, pejuang hidup yang seseungguhnya.
porter Rinjani
Porter Rinjani
Tak jauh dari pos 2, saya melihat sebuah pohon yang hanya berdiri sendiri. Sebuah lokasi yang sangat sayang untuk tidak diabadikan dalam jepretan kamera. Jadilah kami bersepakat untuk sejenak berhenti dan mengambil beberapa gambar di dekat pohon tersebut.
pohon sabana sembalun
pohon sabana sembalun
pohon sabana sembalun
pohon sabana sembalun
Perjalanan kembali kami lanjutkan, matahari masih setia menemani perjalanan dipagi menjelang siang ini. Udara yang dingin membuat sengatan matahari jadi tak terasa. Tapi efek ini akan dirasakan nanti setelah pendakian, kulit akan terbakar dan akan menghitam. Sangat disarankan memakai sunblock jika akan mendaki Rinjani.
Pemandangan sepanjang jalur sembalun
Pemandangan sepanjang jalur sembalun

Pemandangan sepanjang jalur sembalun
Pemandangan sepanjang jalur sembalun
Perjalanan menuju puncak rinjani sejatinya masih jauh, saya memutuskan untuk membagi cerita perjalanan kali ini menjadi dua bagian. Untuk bagian pertama, cukup sampai disini dulu ya, Kawan. Perjalanan dari menuju pos 3 sampai puncak rinjani akan saya posting nanti, beberapa hari lagi, ketika saya selesai dari pikiran tentang rindu ini. Rindu pada rinjani, juga rindu pada dia barangkali.
Terimakasih telah membaca, semoga sedikit bisa membawa rindu-rindu kalian menuju Rinjani. Nantikan kelanjutan cerita ini segera ya!
Akan ada beberapa fakta mistis tentang pos 2 Gunung Rinjani, juga kejadian aneh yang saya alami ketika di Rinjani.
Perjalanan masih jauh
Perjalanan masih jauh

Komentar