BACA JUGA

Nona, Kau Dan Pagi



pic from Pinterest

Pagi ini terlihat begitu cerah, matahari bersinar sehangat kopi yang kuseduh pagi ini. Sejenak aku melihat langit dan kupandangi bebasnya burung terbang kian kemari, kurasakan kedamaian singkat pagi ini. Nona, kurasa hidup akan menenangkan jika kau menikmatinya, semenyenangkan aku menikmati kopiku pagi ini, pikirku. Tak lupa, lantunan musik merdu nan meneduhkan yang selalu aku dengarkan setiap pagi, membawaku kembali kepada nikmatnya satu kata, merindu, kusebut demikian. Bagaimana aku tidak akan merindu? Jika menjelang tidur selalu dihantui bayangan indah senyummu nona. Senyum sumringah yang selalu berhasil membuat beribu pertanyaan muncul di dalam kepalaku. Tak ku temui sedikitpun jawaban atas pertanyaan itu, sampai saat ini. Nona, kau dan rindu, adalah dua hal yang selalu beriringan. Rindu takkan menghampiriku jika tidak membawa serta dirimu nona, begitupun sebaliknya, kau datang dengan melodi rindu indah dalam gendang kepalaku.
Pernah aku benar merindukanmu nona, dan kurasa kala itu imajinasiku mulai menggila. "Kenapa demikian?", pikirmu nona. Ya, kala itu kau mampu membuatku melontarkan imajinasi dalam susunan kata tidak beraturan yang ku sebut, puisi. Demikian halnya tercipta sebab musik, imajinasi, dan kerinduan akanmu mengerjaiku sedemikian rupa kala itu nonaku. Oh tentu saja, aku ingin membacakan dengan lantang dihadapanmu hasil kegilaan imajinasiku. Coba kau dengarkan nonaku.

Selasa, 28 Februari 2017
02.14 WIB
“Akhir Februari”

Ingin ku layangkan khayalku kembali
Pada kedua bola mata indah berseri
Mata yang menghanyutkan penasaran menanti
Hingga datang kerinduan menikmati
Terbawa dalam indahnya imajinasi
Lalu hanyut dalam sendiri

Ahh sudahlah!
Terlalu indah mengalah

Kamis, 24 April 2017
08.25 WIB
Salam pagi rindu,
kabut pagi ini menghanyutkanku dalam dentuman keanganan 
nan menyelinap dalam mimpiku tadi malam,
mengharuskanku menggenggam syahdu di pagi buta,
Anganku terombang kepekatan rasa,
kemudian terdampar di entah berantah.

Kala pagi in rindu,
wajah murung berkabung relung,
menerbangkan rasaku ke pucuk rindu,
ditinggalkannya di atas, sebab aku takut tinggi,
dan sekarang, rasaku menetap di pucuk rindu 


Malu sekali hatiku sekarang nona, memerah wajah jelekku saat ini, kurasa. Meski demikian, aku benar merindu segala perihal dikau nonaku. Tak sekalipun aku memikirkan halnya orang lain, kerinduanku saat ini hanya milikmu nonaku, dan sajakku, semuanya menggema tentangmu.
“Bro!”, suara teriakan itu menghentakkanku, menyusutkan pandanganku dan menyeretku kembali ke depan rumah kumuh yang ku sebut kos. Kulihat tanganku memegang secangkir kopi, masih hangat, ada bekas diminum pada pinggirannya. Telingaku disumbat kabel yang mengeluarkan bunyi, mereka sebut handsfree, yang sedari tadi kusisipkan di daun telingaku. Ah! Ku rasa, aku melamun lagi.
“Bro, ayo ke kampus, udah jam berapa ni”, ucap pria yang memanggilku tadi.
“Oke bro, tunggu sebentar”, balasku.
Aku membereskan perkakas lamunan perihal dikau dan memasukkannya ke rumah di belakang tempatku duduk.

“Nanti kita sambung lagi nona”, gumamku dalam hati. Aku melangkah sambil bernyanyi sendu.

Komentar